Selasa, 12 Juli 2011

Garam dan Telaga (Julianto Eka Putra)


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi. Datanglah seorang anak muda yang sedang di rundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memeng tampak seperti orang yang tidak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya”, ujar Pak tua itu.
“Asin. Asin sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya itu, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk hingga tercipta riak air yang mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah”, Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar”, sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di air itu?”, tanya Pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk di samping telaga itu.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan di dasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Semua tergantung pada hati kita”.
“Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima smuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung semua kepahitan itu”.

Pak Tua itu lalu kembali memberi nasehat.
”Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar